Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 November 2012

UUD Negara Indonesia

Undang-Undang Tahun 2011
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011
Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011
Tentang Perubahan atas UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 Tentang Partai Politik
Undang-Undang Tahun 2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2010
Tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010
Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2010
Tentang Keprotokolan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010
Tentang Cagar Budaya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010
Tentang Gerakan Pramuka

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010
Tentang Hortikultura
=======
Undang-Undang Tahun 2009
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009
Tentang Penerbangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009
Tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009
Tentang Badan Hukum Pendidikan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2009
Tentang Kepariwisataan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009
Tentang Kesejahteraan Sosial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009
Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2009
Tentang Gelar, Tanda Jasa, Dan Tanda Kehormatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2009
Tentang Pengesahan Agreement For The Implementation Of The Provisions Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea Of 10 December 1982 Relating To The Conservation And Management Of Straddling Fish Stocks And Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 Yang Berkaitan Dengan Konservasi Dan Pengelolaan Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas Dan Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2009
Tentang Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2009
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2009
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2009
Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2009
Ketransmigrasian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2009
Tentang Ketenagalistrikan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2009
Tentang Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2009
Tentang Perfilman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2009
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-Undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009
Tentang Narkotika

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009
Tentang Kesehatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2009
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian Menjadi Undang-Undang
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2009
Tentang Pos

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2009
Tentang Kawasan Ekonomi Khusus

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2009
Tentang Kepemudaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009
Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009
Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009
Tentang Kearsipan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009
Tentang Rumah Sakit

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2009
Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009
Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga
==================================================
Undang-Undang Tahun 2008
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2008 Tentang Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata Kimia
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2008 Tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters (Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2008 Tentang Pelayaran
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 Tentang Perbankan Syariah
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 Tentang Kementerian Negara
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 Tentang Wilayah Negara
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 Tentang Pornografi
Undang-Undang Tahun 2007
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasioanal Tahun 2005 sampai 2025
Daftar isi lampiran
lampiran undang undang Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasioanal Tahun 2005 sampai 2025
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 Tentang Perkeretaapian
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 Tentang Penanaman Modal
============================================
—————-
Produk hukum Pendidikan di bawah ini
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA DI BIDANG PENDIDIKAN NONFORMAL DAN JASA PENUNJANG PENDIDIKAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DI BIDANG PENANAMAN MODAL
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2010
TENTANG PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU BAGI GURU DALAM JABATAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010
TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PLAGIAT
DI PERGURUAN TINGGI
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010
TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2010 UNTUK SD/SDLB
Baca Selengkapnya...

HUKUM PAJAK

Pajak atau hukum fiskal ialah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak.
Hukum Pajak dibedakan antara Hukum Pajak Materiil (Material tax law) dan hukum Pajak Formal (Formal tax law). Hukum Pajak Materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang dikenakan pajak, dan siapa-siapa dikecualikan dari pengenaan pajak, apa saja yang dikenakan pajak dan berapa yang harus dibayar.
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat ketentuan-ketentuan bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Secara mudah dapat dirumuskan bahwa hukum pajak materiil berisi ketentuan-ketentuan tentang siapa, apa dan berapa. Hukum Pajak Formal berisi ketentuan tentang bagaimana.
Hukum pajak formal merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur bagaimana mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Misalnya hukum pajak materiil menetapkan, bahwa seseorang yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, dan mempunyai penghasilan yang jumlahnya di atas PTKP, maka orang yang bersangkutan telah mempunyai kewajiban untuk membayar pajak dan statusnya telah menjadi Wajib Pajak.
Baca Selengkapnya...

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

1 Pengertian sumber hukum internasional
Sumber hukum dibedakan menjadi dua yaitu sumber hukum formail dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formail adalah sumber hukum yang dilihat dari bentuknya, sedang sumber hukum materiil adalah segala sesuatu yang menentukan isi dari hukum. Menurut Starke, sumber hukum materiil hukum internasional diartikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum intrenasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu.

2 Macam-macam sumber hukum Internasional
Sumber hukum internasional dapat dibedakan berdasarkan

2.1   Berdasarkan penggolongannya:
Berdasarkan penggolongannya sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua:
.2.1.a  Penggolongan menurut Pendapat Para sarjana Hukum Internasional
Para sarjana Hukum Internasional menggolongkan sumber hukum internasional yaitu, meliputi:
1.   Kebiasaan
2.   Traktat
3.   Keputusan Pengadilan atau Badan-badan Arbitrase
4.   Karya-karya Hukum
5.   Keputusan atau Ketetapan Organ-organ/lembaga Internasional

.2.1.b  Penggolongan menurut Pasal 38 (1) Statuta MAhkamah Internasional
Sumber HUkum Internasional menurut ketentuan Pasal 38 (1) Statuta  Mahkamah Internasional adalah  terdiri dari :
1.   Perjanjian Internasional (International Conventions)
2.   Kebiasaan International (International Custom)
3.   Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara eradab.
4.   Keputusan Pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (Theachings of the most highly qualified publicists).

Jelas bahwa penggolongan  sumber hukum internasional menurut pendapat para sarjana dan menurut pasal 38 ayat 1 Satatuta MAhkamah Internasional terdapat perbedaan yaitu yang dapat dijelaskan berikut ini:
a. Pembagian menurut para sarjana telah memasukan keputusan badan-badan arbitrase internasional sebagai sumber hukum sedangkan dalam pasal 38 tidak disebutkan hal ini menurut Bour mauna karena dalam praktek penyelesaian sengketa melalui badan  arbitrase internasional hanya merupakan pilihan hukum dan kesepakan para pihak pda perjanjian.

b. Penggolongan sumber hukum internasional menurut para sarjana tidak mencantumkan prinsip-prinsip hukum umum sebagai salah satu sumber hukum, padahal sesuai prinsip-prinsip hukum ini sangat penting bagi hakim sebagai bahan bagi mahkamah internasional untuk membentuk kaidah hukum baru apabila ternyata sumber hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah Internasional untuk menyelesaiakn suatu sengketa. Hal ini sesuia dengan ketentuan pasal 38 ayat 2 yang menaytakan bahwa:
This propivisons shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto.
“Asas ex aequo et bono” ini berarti bahwa hakim dapat memutuskan sengketa  internasional berdasarkan rasa keadilannya (hati nurani) dan kebenaran. Namun sampai saat ini sangat disayangkan bawasannya asas ini belum pernah dipakai oleh hakim dalam Mahkamah Internasional.

c. Keputusan atau Ketetapan Organ-organ Internasional atau lembaga-lembaga lain tidak terdapat dalam pasal 38, karena hal ini dinilai sama dengan perjanjian internasional.

2.2    Berdasarkan sifat daya ikatnya:
Sumber hukum Internasional jika dibedakan berdasarkan sifat daya ikatnya maka dapat dibedakan menjadi sumber hukum primer dan sumber hukum subsider. Sumber hukum primer adalah sumber hukum yang sifatnya paling utama artinya sumber hukum ini dapat berdiri sendiri-sendiri meskipun tanpa keberadaan sumber hukum yang lain. Sedangkan sumber hukum subsider merupakan sumber hukum tambahan yang baru mempunyai daya ikat bagi hakaim dalam memutuskan perkara apabila didukung oleh sumber hukum primer. Hal ini berarti bahwa sumber hukum subsider tidak dapat berdiri sendiri sebagaimana sumber hukum primer.

2.2.a  Sumber Hukum Primer hukum Internsional
Sumber hukum Primer dari hukum internasional meliputi:
1.   Perjanjian Internasional (International Conventions)
2.   Kebiasaan International (International Custom)
3.   Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara eradab.

Oleh karena sumber hukum internasional nomor 1,2,3 merupakan sumber hukum primer maka Mahkamah Internasional dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan berdasarkan sumber hukum nomor 1 saja, 2 saja, atau 3 saja. Namun perlu diketahui bahwa pemberian nomor 1, 2, 3 tidak menunjukan herarki dari sumber hukum tersebut. Artinya bahwa ketiga sumber hukum tersebut mempunyai kedudukan yang sama tingginya atau yang satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya dari sumber hukum yang lain.

2.2.b  Sumber Hukum Subsider
   Bahwa yang termasuk sumber hukum tambahan dalam hukum internasional adalah:
4.   Keputusan Pengadilan.
5.   Pendapat Para sarjana Hukum Internasional yang terkemuka.

Oleh karena sumber hukum internasional nomor 4 dan 5 merupakan sumber hukum subsider maka Mahkamah Internasional tidak dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan hanya berdasarkan sumber hukum nomor 4 saja, 5 saja, atau 4 dan 5 saja. Hal ini berarti bahwa kedua  sumber hukum tersebut hanya bersifat menambah sumber hukum primer sehingga tidak dapat berdiri sendiri.

3 Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum

Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subyek hukum internasional baik yang berbentuk bilateral, reginal maupun multilateral.
Perjanjian Bilateral adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak dua negara, sedangkan regional adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak negara-negara dalam satu kawasan sedangkan multilaretal adalah perjanjian yang apabila pihaknya lebih dari dua negara atau hampir seluruh negara di dunia dan tidak terikat dalam satu kawasan tertentu. Sedangkan menurut Konvensi wina Pasal 2 1969, Perjanjian Internasional (treaty) didefinisikan sebgai:
“Suatu Persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”

Definisi ini kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:
Perjanjian INternasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebuitan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satua atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”.
Baca Selengkapnya...

ALIRAN-ALIRAN HUKUM DI INDONESIA

Berkenaan dengan kekuasaan yang menentukan kaidah hukum, terdapat beberapa aliran pemikiran dalam hukum, yaitu:

1. Aliran Hukum Alam
Menurut ajaran ini kaidah hukum hasil dari titah tuhan dan langsung berasal dari tuhan. Oleh karena itu, aliran ini mengakui adanya suatu hukum yang benar dan abadi, sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras dengan alam. Dalam ajaran ini, ada dua unsur yang menjadi pusat perhatian, yaitu unsur agama dan unsur akal. Pada dasarnya hukum alam bersumber pada tuhan, yang menyingkari akal manusia dan sebaliknya hukum alam bersumber pada akal atau pikiran manusia.

2. Teori Perjanjian Masyarakat
Teori ini berpendapat bahwa hukum adalah perwujudan kemauan orang dalam masyarakat yang bersangkutan yang ditetapkan oleh negara, yang mereka bentuk karena suatu perjanjian dan orang mentaati hukum karena perjanjian tersebut.

3. Aliran Sejarah
Menurut Aliran Culture Historische School
Pokok pikiran aliran ini, manusia di dunia ini terbagi atas beberapa bangsa dan bangsa ini mempunyai sifat dan semangat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, hukum berlainan dan berubah sesuai dengan tempat dan zaman, karena hukum ditentukan oleh sejarah. Hukum yang dibuat oleh manusia masih ada kebaikan yang lebih tinggi nilainya yaitu keadilan menjadidasar dari setiap hukum yang diperbuat oleh manusia. Dengan begitu golongan atau aliran yang bertentangan dengan aliran tersebut ialah berpendapat bahwa hukum tertulis buatan manusia itulah yang tertinggi dan tidak dapat diatasi oleh apapun juga.
Aliran demikiran disebut aliran positivisme atau legisme, yang sangat menghargai secara berlebih-lebihan terhadap hukum tertulis.

4. Teori kedaulatan negara
Menurut Madhzab Kedaulatan Negara
Menurut madhzab ini, isi kaidah-kaidah hukum itu ditentukan dan bersumber pada kehendak negara. Menurut hans kelsen, isi kaidah-kaidah hukum adalah wille des staates.

5. Teori kedaulatan hukum
H. Krabbe Dan Madhzabnya
Kedaulatan hukum tidak sependapat dengan kedaulatan negara. Menurut krabbe, negara adalah suatu konstruksi yuridis, karena tidak mempunyai kehendak sendiri. Kehendak tersebut pada hakikatnya adalah kehendak dari pemerintah, sedangkan yang disebut pemerintah itu sendiri dari orang-orang tertentu.
Berdasarkan teori hukum dan ajaran hukum tersebut diatas maka timbul aliran-aliran hukum, sebagai berikut:

a. Aliran legisme, yang menganggap bahwa hukum terdapat dalam undang-undang. Yang berarti hukum identik dengan undang-undang, sehingga hakim dalam melakukan tugasnya terikat pada undang-undang. Bahwa undang-undang itu sebagai sumber hukum formal, dalam hal undang-undang itu dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu
• Undang-undang dalam arti formal adalah setiap keputusan pemerintah yang karena bentuknya disebut undang-undang
• Undang-undang dalam bentuk materiel adalah keputusan pemerintah yang karena isinya langsung mengikat masyarakat

b. Aliran freie rechsbeweging, yang beranggapan bahwa didalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukan menurut undang-undang atau tidak. Ini disebabkan pekerjaan hakim ialah menciptakan hukum. Dengan demikian, yurisprudensi merupakan hal yang penting yang dianggap primer, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder.
c. Aliran rechtsvinding, yang beranggapan bahwa hakim terikan pada unfang-undang, akan tetapi tidak seketat menurut paham aliran legisme. Karena hakim juga memiliki kebebasan, namun kebebasan hakim tidak seperti faham freie rechgtsbeweging. Karena dalam melaksanakan tugasnya hakim mempunyai kebebasan yang terikat.

d. Aliran sicoilogishe rechtschuke, pada dasarnya tidak setuju dengan adanya kebebasan bagi para pejabat hukum untuk menyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaanya. Oleh karena itu, aliran ini hendak menahan dan menolak kemungkinan sewenang-wenang dari hukum, sehubungan dengan adanya freieserhessen dalam aliran rechtsschule. Pada akhirnya aliran ini mengimbau suatu masyarakat bagi pejabat-pejabat hukum dipertinggi berkenaan dengan pengetahuan tentang ekonomi, sosiologi dan lain-lain, supaya kebebasan dari hakim ditetapkan batas-batasnya dan supaya putusan-putusan hakim dapat diuji oleh public opinion.

e. Aliran sistem hukum terbuka (open system), berpendapat bahwa hukum itu merupakan suatu sistem, bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan yang satu ditetapkan oleh yang lain; bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan untuk yang bersifat khusus dapat dicari aturan-aturan umumnya, sehingga sampailah pada asas-asas. Sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang diatur dalam keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. (Prof. R Subekti, SH.)
Sebelum dikenal hukum tertulis, maka satu-satunya sumber hukum adalah hukum kebiasaan. Oleh karena hukum kebiasaan itu sifatnya tidak tertullis, maka dapat dibayangkan bahwa tidak ada kepastian atau keseragaman hukum. Kemudian lahirlah aliran-aliran penemuan hukum, yang pada dasarnya bertitik tolak pada pandangan mengenai apa yang merupakan sumber hukum. Jadi aliran-aliran itu merupaka aliran-aliran tentang ajaran sumber hukum.
Baca Selengkapnya...

ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU

                   Sumber utama tentang berlakunya UU hukum pidana menurut waktu, tersimpul di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Banyak pengertian yang dapat diberikan kepada Pasal 1 ayat (1) KUHP antara lain:
a. Mempunyai makna ”nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu.
b. Mempunyai makna ”Undang-undang hukum pidana tyidak mempunyai kekuatan berlaku surut”.
c. Mempunyai makna ”lex temporis delicti”, yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu.

Sepanjang sejarah dari perkembangan hukum pidana dengan segala faktor-faktor yang mempengaruhi, kiranya dapat disusun dalam empat macam sifat ajaran yang dikandung oleh asas legalitas.

1. Asas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum terhadap penguasa agar tidak sewenang-wenang. Perlindungan individu diwujudkan adanya keharusan dibuat UU lebih dahulu untuk menentukan perbuatan pidana atau pemidanaan

2. Asas legalitas hukum pidana yang mendasarkan titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu rumusan peraturan yang memuat tentang perbuatan pertama dan ancaman pidananya.

3. Asas legalitas hukum pidana, yang mendasar titik berat pada dua unsur yang sama pentingnya yaitu bahwa yang diatur oleh hukum pidana tidak hanya memuat ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi juga harus diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana.

4.Asas legalitas hukum pidana yang mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum lebih utama kepada negara dan masyarakat daripada kepentingan individu.

Baca Selengkapnya...

TEORI PEMUNGUTAN PAJAK

Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi deiperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyajk ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.

Baca Selengkapnya...

HUBUNGAN ANTARA ILMU HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

Hubungan antara ilmu hukum pidana dan kriminologi, dapat dikatakan mempunyai hubungan timbal balik dan bergantungan satu sama lain(interrelation dan dependence). Ilmu hukum pidana mempelajari akibat hukum daripada perbuatan yang dilarang sebagai kejahatan (crime) yang dapat disingkat pula dengan nama ”ilmu tentang hukumnya kejahatan”, dengan demikian sebenarnya bagian hukum yang memuat tentang kejahatan disebut hukum kejahatan, hukum kriminil (criminil law/penal law, misdaads-recht/delicten-recht). Akan tetapi telah menjadi lazim bagi hukum tentang kejahatan itu dinamakan ”strafecht” yang salinannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum pidana.

Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan, yang lazimnya mencari sebab-sebabnya sampai timbul kejahatan dan cara menghadapi kejahatan dan tindakan/reaksi yang diperlukan.

Kedua ilmu pengetahuan itu bertemu dalam fokus pada kejahatan, dengan prinsip-prinsip yang berbeda karena objek dan tujuannya. Ilmu hukum pidana mempunyai objek pada aturan hukum tentang kejahatan dengan akibat hukum berupa pidana dan tujuanna untuk mendapatkan pengertian dan penggunaan pidana yang sebaik-baiknya guna mencapai keadilan hukum, sedangkan krimonologi mempunyai objek manusia penjahat di belakang peraturan hukum pidana dan tujuannya memperoleh pengertian tentang sebab kejahatan untuk memberikan pidana atau tindakan yang tepat agar tidak melakukan lagi kejahatan.

Baca Selengkapnya...

TUJUAN HUKUM PIDANA

Tujuan Hukum Pidana :

1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie).

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Baca Selengkapnya...

Selasa, 10 April 2012

JUDUL SKRIPSI HUKUM TERBARU

  • PENDEKATAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN PERKOSAAN
    (Studi : di Lembaga Pemasyarakatan X)
  • TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS TERHADAP TINDAK PIDANA INCEST
    (Studi di Polresta X)
  • UPAYA HUKUM BAGI PEMEGANG SURAT CEK YANG DITOLAK PEMBAYARANNYA
    (Studi Kasus Bank X)
  • DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG BERKAITAN DENGAN KASUS CAROK (Studi di Pengadilan Negeri X)
  • PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DI PERTOKOAN KOTA X
  • PERJANJIAN CARTER KAPAL TANKER BERDASARKAN WAKTU (TIME CHARTER)
    (Studi Di PT. X)
  • MURABAHAH SEBAGAI BENTUK PEMBIAYAAN PERSONAL PADA BANK SYARIAH
    (Studi Kasus pada Bank XSyariah)
  • SISTEM PENETAPAN NILAI JUAL OBYEK PAJAK (NJOP) DALAM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) MENURUT UU NO. 12 TAHUN 1994 (Penelitian di Wilayah Kantor PBB di X)
  • KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH DILEGALISASI OLEH NOTARIS (Studi Tentang Alat-Alat Bukti)
  • PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA
    PELECEHAN SEKSUAL
  • TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
  • PERANAN DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA (DJPLN) UNTUK MENYELAMATKAN KEKAYAAN NEGARA (Studi Di DJPLN Cabang X)
  • PENERAPAN SANKSI PIDANA DAN TINDAKAN TERHADAP ANAK SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK (Studi Di Pengadilan Negeri X)
  • PERANAN POLRI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA CABUL TERHADAP ANAK
    (Studi di POLRESTA X)
  • PERANAN RESERSE DALAM MENGUNGKAP KEJAHATAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA (Studi di POLRESTA X)
  • PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA ATAS IKLAN DI TELEVISI
    (Study Tentang Hak Cipta Iklan di Televisi)
  • PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM DALAM PERJANJIAN BAKU
  • PERANAN POLRI DALAM MENINDAKLANJUTI TERHADAP MASSA YANG MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM (Studi Pada Polresta X)
  • TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENCURIAN UANG MELALUI REKENING BANK DENGAN SARANA INTERNET
  • TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA JASA LAUNDRY MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
    (Studi Pada Usaha Jasa Laundry Di Sekitar Wilayah Kampus X)
  • PERTANGGUNGJAWABAN PERS TERHADAP PEMBERITAAN YANG MERUGIKAN NAMA BAIK ELIT POLITIK (Studi Kasus Di X)
  • TINDAKAN YURIDIS ATAS KASUS PEMBUNUHAN DISERTAI DENGAN KEKERASAN YANG BERKEDOK PEMBERANTASAN DUKUN SANTET (Study Kasus di Polres X)
  • KEDUDUKAN AHLI WARIS BERALIH AGAMA TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI (Suatu Study di Desa Adat Gerokgak Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng).
  • IZIN POLIGAMI BAGI PNS DAN AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI UU NO. 1 TAHUN 1974, PP. No. 10 TAHUN 1983 jo PP. No. 45 TAHUN 1990 (Studi di Pengadilan Agama X)
  • PELAKSANAAN EKSEPSI DALAM PROSES PERKARA PIDANA
    (Studi di Pengadilan Negeri X)
  • PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN X
    (Studi Terhadap Napi Narkoba)
  • PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN SEPAK BOLA DI WILAYAH KOTA X (Studi Di Polresta X)
  • PERJANJIAN PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UU. NO.1 TAHUN 1974 DAN PP. NO. 9 TAHUN 1975 (Studi di Pengadilan Agama Kabupaten X)
  • UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN ANGGOTA POLRI (Studi Di Polresta X)
  • PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK PEMBELI DALAM TRANSAKSI JUAL BELI KOMPUTER RAKITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Di Ronggolawe Computer Malang)
  • DISPARITAS PIDANA DALAM PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Kasus di Pengadilan Negeri X)
  • EUTHANASIA DAN PROSPEKSI PENGATURANNYA DALAM HUKUM PIDANA
    DI INDONESIA (Suatu Studi di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri X)
  • PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI (Studi Kasus di Pegadaian Cabang X)
  • PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENGUNGKAP KASUS PEMBUANGAN BAYI OLEH SEORANG MAHASISWI (Studi Di Polsekta X)
  • PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA LAYANAN TELEPON WARUNG TELEKOMUNIKASI
  • PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA RINGAN
    (Studi Di Kejaksaan Negeri X)
  • Kebebasan Tersangka Dalam Memberikan Keterangan Kepada Aparat Penyidik (Studi di Polresta X)
  • UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENYELESAIKAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA
  • KEDUDUKAN HUKUM TENTANG HAK ISTRI SETELAH DICERAIKAN OLEH SUAMI YANG BERSTATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL DIDASARKAN ATAS PERATURAN
    PEMERINTAH NO. 10 TAHUN 1983 (Studi di Pengadilan Agama X)
  • PENYELESAIAN KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES) BERMASALAH
    (Suatu Studi di Bank BRI Unit Desa Puncu)
  • PERANAN POLRI DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENADAHAN KENDARAAN BERMOTOR DI WILAYAH POLRESTA X (Studi di Polresta X)
  • PEMBINAAN TERHADAP NAPI LANJUT USIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA
    PERKOSAAN (Studi : di Lembaga Pemasyarakatan X)
  • PENERAPAN TEKNIK DAN TAKTIK INTEROGASI DALAM PEMERIKSAAN TERSANGKA PADA TINGKAT PENYIDIKAN (Studi di Kantor Kepolisian Resort Kota X)
  • TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA TENAGA KERJA (PJTKI) TERHADAP PERLINDUNGAN TENAGA KERJA WANITA INDONESIA (TKW)
  • EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PASAL 29 UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DI KANTOR CATATAN SIPIL KOTA X
  • PENYIDIKAN TERHADAP PEMBUNUHAN ANAK YANG DILAHIRKAN OLEH SEORANG IBU (Studi Di Polresta X)
  • PERANAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN) DALAM PENYELESAIAN SERTIPIKAT GANDA (Studi Kasus di Badan Pertanahan Nasional Kota X)
  • Dasar-Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (Studi Pada Pengadilan Negeri X)
  • PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS KLAUSULA EKSENORASI YANG TERDAPAT PADA PERJANJIAN KREDIT BANK
  • PERMASALAHAN HUKUM GADAI DALAM MENGATASI KERUGIAN PIHAK DEBITUR (Studi Kasus di Pegadaian Cabang Kota X)
  • PEMBAGIAN SISA HARTA DEBITUR SECARA SEIMBANG TERHADAP KREDITUR OLEH LEMBAGA KEPAILITAN (Study Pengadilan Negeri Niaga X)
  • SIDIK JARI SEBAGAI SARANA IDENTIFIKASI SUATU KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi di POLRESTA X)
  • TINJAUAN PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR
    (Studi Di PT. X)
  • PEMBAGIAN HARTA BERSAMA KARENA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (Studi di Pengadilan Agama X)
  • PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN JOMBANG SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
  • GANTI RUGI KECELAKAAN KERJA DALAM PROGRAM JAMSOSTEK YANG MENGAKIBATKAN CACAD SEBAGIAN UNTUK SELAMANYA (Studi Pada PT. X)
  • HUBUNGAN HUKUM ANTARA PENERBIT KARTU KREDIT (ISSUER), PEMEGANG KARTU KREDIT (CARDHOLDER), DAN PENERIMA KARTU KREDIT (MERCHANT) DALAM MELAKUKAN JUAL BELI DAN PEMBAYARAN JASA
  • PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA DI INTERNET, DAN PELANGGARAN HAK CIPTA PADA WEBSITE SECARA UMUM DI INTERNET (Studi pada Internet Service Provider di X)
  • PELAKSANAAN PERKAWINAN USIA MUDA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERCERAIAN Studi Di Desa X dan KUA X
  • UPAYA POLRI DALAM PENANGGULANGAN PENGEDARAN NARKOBA
  • KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH KABUPATEN MANGGARAI - NTT DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG KESEHATAN
  • PENERAPAN SISTEM BAGI HASIL PRODUK SIMPANAN WADI’AH PADA BANK SYARIAH
  • KEDUDUKAN DAN PERANAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA-PERKARA PERDATA BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1991 (Studi di Kejaksaan Negeri X)
  • KENDALA DAN UPAYA KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYELIDIKAN KASUS KORUPSI (Studi Kasus Di Kejaksaan Negeri Malang)
  • TINDAK PIDANA PERJUDIAN TOGEL DAN UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGINYA (Studi di Polresta X)
  • Tindak Pidana Pencurian yang Dilakukan Oleh Anak (Studi di Polresta X)
  • REALISASI BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA BAGI TERSANGKA SESUAI DENGAN PASAL 56 KUHAP (STUDI DI POLRESTA X)
  • PANTI ASUHAN SEBAGAI BADAN HUKUM DI DALAM TANGGUNGJAWABNYA SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK ASUHNYA BERDASARKAN PASAL 50 AYAT I UU No. I/1974 (Studi di Panti Asuhan Muhammadiyah Kotamadya Malang).
  • PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASAYRAKATAN (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I X)
  • PERANAN POLRI DALAM PENGAMANAN NASABAH BANK (Suatu Studi Di Polresta X)
  • PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN ATAU KEPUTUSAN KEPALA DAERAH OLEH PEMERINTAH PUSAT MENURUT PASAL 114 UU NO 22 TAHUN 1999
  • PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN BUKTI KEPEMILIKAN KENDARAAN BERMOTOR (Studi Di BPR Dau Kusumadjaja Cabang Kepanjen)
  • PERANAN POLRI DALAM MENANGGULANGI PENGGUNAAN SENJATA API SECARA MELAWAN HUKUM (Studi di Polresta X)
  • PAKSA BADAN SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN TERHADAP DEBITUR YANG BERITIKAD TIDAK BAIK DALAM SISTEM PERBANKAN SYARIAH
  • PEMBINAAN NAPI ANAK SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12/1995.
  • PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN DALAM KELUARGA MENURUT KEPPRES NO. 36 TAHUN 1990 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD 1989 (Konvensi Hak Anak)
  • PENYIDIKAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCABULAN (STUDI DI POLRESTA X)
  • PERANAN PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TERHADAP KEJAHATAN PERKOSAAN (Studi Kasus Di POLRESTA X)
  • Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Pengemudi Kendaraan Angkutan Umum Dan Upaya Penanggulangannya (Studi Kasus Di Polres X)
  • PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN PERAWATAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA YANG SAKIT JIWA (Tinjauan Terhadap Pasal 44 KUHP)
  • ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI SAHAM/INVESTOR DALAM PASAR MODAL (Study di Bursa Efek Surabaya)
  • RUMAH TAHANAN NEGARA SEBAGAI SARANA PEMBINAAN NARAPIDANA
    (Studi Kasus di RUTAN X)
  • PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN DENGAN PENERAPAN STANDAR MUTU PADA PRODUK AIR MINUM ISI ULANG (Studi di YLKI Kota Malang)
  • TINJAUAN HUKUM TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERWAKAFAN TANAH MILIK DI PENGADILAN AGAMA (Suatu Studi di Pengadilan Agama X)
  • UPAYA KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI DAMPAK PENGGUNAAN MINUMAN KERAS (Studi di Kepolisian X)
  • TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG ANAK TERHADAP MANULA
  • TINJAUAN TENTANG KEWENANGAN POLISI DALAM MELAKUKAN PENYITAAN BARANG BUKTI PELANGGARAN LALU LINTAS (Studi Pada Polres X)
  • PERANAN POLRI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA ABORTUS PROVOCATUS
    (Studi di Polresta X)
  • SUATU TINJAUAN VIKTIMOLOGIS TERHADAP UPAYA GANTI RUGI KORBAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri X)
  • TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP PENUMPANG DAN BAGASI PENUMPANG (Studi di PT. X Malang).
  • PENGGUNAAN ANALOGI TERHADAP KEJAHATAN PEMBOBOLAN WEB SITE DI INTERNET
  • KENAKALAN ANAK-ANAK JALANAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
    (Studi di Kepolisian Resort Kota X)
  • ANALISA PENANGANAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH MAHASISWA DI KOTA X (STUDI DI POLRESTA X)
  • PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA DIBIDANG PERIKANAN OLEH PENYIDIK PERWIRA TNI ANGKATAN LAUT (Studi di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut Surabaya)
Baca Selengkapnya...

Aturan Antikorupsi Pemberantasan Setengah Hati


Ancaman hukuman berat buat terpidana korupsi dinilai hanya retorika politik karena arah kebijakan pemerintah justru menumbuhsuburkan iklim korupsi di negeri ini. Pasal-pasal yang menjadi teror bagi koruptor justru diamputasi. Perilaku penegak hukum juga cemar.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar dengan lantang menyatakan, koruptor pantas dihukum mati (Kompas, 6/4). Namun, barangkali ia lupa dengan naskah Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diajukan pemerintah untuk menggantikan undang- undang yang lama. RUU itu justru membuang pasal mengenai hukuman mati untuk koruptor.

”Patrialis hanya beretorika saat mengancam koruptor dengan hukuman mati,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Wacth (ICW) Febri Diansyah.

RUU Pemberantasan Tipikor versi Agustus 2008 menghilangkan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto No 20/2001. Ayat tersebut secara tegas menyebutkan, koruptor bisa dihukum mati.

Bahkan, secara keseluruhan, semangat RUU yang saat ini menjadi prioritas Legislasi Nasional 2010 memang memberikan angin surga kepada para koruptor. Misalnya, Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor yang selama ini cukup digdaya menjerat koruptor justru dihilangkan. Akibatnya, diperkirakan banyak koruptor akan lolos dari jerat hukum jika pasal seperti ini tidak ada di RUU.

Ancaman pidana maksimal dalam RUU ini secara keseluruhan juga menurun. Misalnya, dalam Pasal 8 tentang penggelapan uang negara, di UU Tipikor, ancaman hukuman maksimal 15 tahun. Sedangkan di RUU, ancaman hukuman maksimal hanya 7 tahun. ”Saya khawatir, Patrialis belum membaca RUU baru itu. Karena jelas-jelas di situ justru mengurangi efek jera bagi koruptor,” kata Febri.

Febri menambahkan, ancaman pidana minimal pada sebagian pasal dihilangkan sehingga memperluas kemungkinan vonis percobaan. Vonis untuk pidana korupsi di bawah Rp 25 juta juga dihapuskan.

Selain itu, unsur luar biasa korupsi juga tidak dimunculkan karena tidak mengatur tentang mekanisme pengembalian kerugian negara, pembekuan rekening, pidana tambahan terkait uang pengganti, korupsi oleh pengacara, dan pembatalan kontrak yang lahir dari korupsi.

Melemahnya kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga bisa ditengok dari Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi 2010-2035 yang diluncurkan Desember 2009. Dalam strategi tersebut, pemerintah memberikan prioritas pertama pemberantasan korupsi pada upaya pencegahan melalui perbaikan kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik. Penindakan kasus korupsi hanya menjadi prioritas kedua.

Padahal, di tengah makin menggejalanya praktik mafia kasus, yang jelas-jelas melibatkan para penegak hukum, penindakan dengan cara biasa-biasa saja pastinya tak akan mempan. Dibutuhkan penindakan yang luar biasa, yaitu dengan pembersihan total terhadap aparat penegak hukum.

Inkonsisten

Selain ketidakkonsistenan dalam penyusunan perundang-undangan, menurut Febri, perilaku penegak hukum dalam pemberantasan korupsi juga menunjukkan kemunduran. Misalnya, adanya pemotongan masa tahanan kasus korupsi di lembaga pemasyarakatan.

”Melalui PP Nomor 28 Tahun 2006 yang ditandatangani presiden, terbuka ruang pemberian remisi atau potongan masa tahanan untuk koruptor,” katanya. Jika korupsi dianggap kejahatan luar biasa, mestinya tak ada remisi untuk para koruptor.

Febri juga mencatat maraknya tren putusan bebas kasus korupsi di pengadilan umum, hukuman percobaan, dan pengurangan hukuman melalui upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK).

Lihat saja beberapa putusan majelis PK dalam perkara Artalyta Suryani, Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Maman Soemantri, Aslim Tadjudin, Bunbunan Hutapea, dan Irawady Joenoes (mantan komisioner Komisi Yudisial). Ada beragam alasan untuk pengurangan hukuman itu, seperti kemanusiaan dan tidak ikut menikmati aliran dana.

PK ditengarai sebagai celah hukum yang dimanfaatkan terpidana kasus korupsi untuk mendapatkan keringanan hukuman. MA bahkan menerima permohonan PK yang persidangannya tidak dihadiri oleh terpidana.

Hakim agung ad hoc korupsi, Krisna Harahap, yang mengajukan dissenting opinion dalam perkara Artalyta, mengungkapkan, hal tersebut melanggar Pasal 263 Ayat 1 serta Pasal 265 Ayat 2 dan Ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

”Permohonan melalui kuasa hukum tanpa kehadiran terpidana yang harus menandatangani berita acara pemeriksaan sering disalahgunakan untuk bersembunyi di luar negeri,” ujar Krisna.

Febri khawatir, putusan itu akan menjadi preseden buruk dan akan dimanfaatkan koruptor-koruptor yang kini berada di luar negeri untuk memperoleh keringanan hukuman.

Namun, di mata Djoko Sarwoko, yang juga ketua majelis PK Artalyta Suryani, keputusan untuk memperingan hukuman para terpidana itu sudah tepat. Sebab, majelis hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan, terutama keadilan untuk terpidana. Putusan tersebut tidak berarti MA mengabaikan rasa keadilan masyarakat atau bahkan menunjukkan berkurangnya komitmen MA terhadap pemberantasan korupsi.

Tren pengurangan hukuman untuk terpidana korupsi yang belakangan terjadi memang cukup mengkhawatirkan. Setidaknya hal tersebut diungkapkan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas. Di tengah mesin korupsi yang makin menggurita dan semakin memelaratkan rakyat, alasan-alasan pengurangan hukuman menjadi tidak jelas.

”Ketika kasus korupsi dipertimbangkan dari sisi kemanusiaan, hakim seharusnya menjelaskan kemanusiaan siapa yang dimaksud. Harusnya hukum itu berfungsi membebaskan masyarakat yang tertindas oleh korupsi sehingga alasan kemanusiaan seharusnya diartikan kemanusiaan untuk rakyat selaku korban,” kata Busyro.

Korupsi memang tidak bisa diberantas dengan setengah hati.

Sumber: Kompas Cetak, 10 April 2010
 

Baca Selengkapnya...

Pengertian BPHTB

Bagi anda yang sering berurusan dengan jual-beli tanah mungkin sudah tidak asing lagi dengan yang namanya BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. “Bea Perolehan” di sini maksudnya adalah Pajak, jadi secara sederhana Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan;

Lantas apa itu “Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan” ? Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan (Sekedar mengingatkan bahwa beberapa contoh dari perbuatan hukum yaitu: Jual-Beli, Sewa-Menyewa, dsb. Sedangkan beberapa contoh dari “peristiwa hukum” misalnya adalah: waris dan hibah wasiat).

Jadi pada prinsipnya apabila anda mendapatkan/memperoleh hak atas tanah dan bangunan, baik anda mendapatkannya dengan cara membeli ataupun ketika anda mewarisi (mendapatkan hak atas tanah tersebut dari hasil warisan), atau bahkan dari pemberian orang lain (baik hibah biasa ataupun hibah wasiat), Hak Atas Tanah dan Bangunan tersebut tetap dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Hak atas tanah yang dimaksud dalam konteks Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Seperti: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa), Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengetahui lebih jauh tentang penjelasan dari hak atas tanah, anda dapat melihatnya pada artikel-artikel saya di blog ini. Namun pada prinsipnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan dibedakan dasar pengenaan pajaknya berdasarkan jenis hak atas tanahnya).


Baca Selengkapnya...

Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Tanah

Dalam hal jual beli tanah dilakukan tanpa sertifikat, maka kepemilikan tanah tersebut biasanya adalah tanah girik. Tanah girik (pada beberapa daerah tertentu) dibuktikan dengan kepemilikan surat pernyataan penguasaan fisik tanah. Saya katakan “di beberapa daerah” karena memang ada kemungkinan bahwa bentuk dari bukti “kepemilikan” tanah girik adalah seperti yang saya sebutkan di atas.
Namun demikian pengalaman pribadi saya, yaitu tepatnya di daerah di Kalimantan Selatan. Surat Pernyataan Penguasaan Fisik itu yang lazim digunakan. Selain dengan penyerahan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik yang asli, jual beli tanah girik lazimnya disertakan juga dengan Surat Keterangan Ganti Rugi.

Lazimnya, Surat Keterangan Penguasaan Fisik Tanah mencakup setidaknya hal-hal sebagai berikut:

1. Identitas para pihak (penjual dan pembeli). Identitas ini sama seperti penulisan identitas pada dokumen-dokumen hukum lainnya, seperti : Nama, tempat tinggal, tempat tanggal lahir dsb. Kita tidak harus menulis selengkap-lengkapnya namun jangan lupa untuk saling bertukar fotocopy KTP dari masing-masing pihak, hal ini agar mudah untuk dihubungi/ditelusuri apabila suatu saat diperlukan.

2. Riwayat Tanah. Keterangan ini cukup signifikan. Keterangan ini berisi tentang keterangan darimana asal muasal tanah yang dijual oleh penjual. Biasanya tanah girik ini adalah tanah yang didapatkan secara temurun-temurun ataupun dari jual beli. Saya pribadi sangat menyarankan agar pembeli tanah bisa mendapatkan dokumen lain yang berhubungan dengan riwayat tanah ini. Maksudnya, apabila tanah yang akan dijual adalah tanah hasil jual beli, maka mintalah tanda bukti pembeliannya (yang asli). Misalkan tanah adalah dari hasil turun temurun, mintalah Surat Pernyataan Penguasaan Fisik sebelumnya. Namun demikian saya harap anda tidak terlalu berharap banyak bahwa dokumen-dokumen yang tadi saya sebutkan akan dapat diperoleh. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa permasalahan tanah adat/tanah girik biasanya adalah kelemahan administratif dokumen tanah.

3. Ukuran dan batas-batas tanah. Ini penting sekali, karena keterangan ini akan membedakan antara kepemilikan suatu bidang tanah. Untuk menguatkan kebenaran tentang keterangan tanah ini, baik sekali untuk bisa menpergunakan bantuan dari pihak yang diakui keahlian dan independensinya dalam hal pengukuran tanah.

4. Saksi-saksi. Sangat disarankan bahwa saksi yang akan digunakan adalah dari pihak yang berbatasan langsung dengan bidang tanah yang akan dijual tersebut. Karena bagaimanapun tetangga yang bersebelahan langsung dengan obyek jual beli dianggap tahu banyak mengenai kondisi dan riwayat tanah tetangganya.

5. Diketahui oleh Kelurahan atau kepala Desa. Sebagai pihak perwakilan dari pemerintah yang dianggap tahu secara detil terhadap kondisi warganya, cap/stempel dari kelurahan/kepala desa adalah penting. Menyangkut stempel dari kelurahan/kepala desa ini, mungkin saja berbeda di setiap daerah. Misalkan saja, merujuk pengalaman saya pribadi, bahwa Surat Pernyataan Penguasaan Fisik ada yang dibuat/dinyatakan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan kemudian diketahui oleh Warga/penjual yang bersangkutan. Namun model yang seperti ini dianggap banyak kelemahan oleh karena Kepala Desa dianggap rentan terhadap gugatan hukum (apabila di kemudian hari ada sengketa terhadap kebenaran status tanah tersebut). Padahal kenyataannya yang paling tahu dan yang paling bertanggungjawab terhadap kebenaran Pernyataan Penguasaan Fisik Tanah adalah warga pemilik/penjual tanah tersebut.


Baca Selengkapnya...

SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DALAM KUH PERDATA

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) Indonesia terdiri dari empat buku sebagai berikut :
1. Buku I, yang berjudul ”perihal orang” (van persoonen), memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.
2. Buku II, yang berjudul ”perihal benda” (van zaken), memuat hukum benda dan hukum waris.
3. Buku III, yang berjudul ”perihal perikatan” (van verbintennisen), memuat hukum harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4. Buku IV, yang berjudul ”perihal pembuktian dan kadaluarsa” (van bewijs en verjaring), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
4. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA MENURUT ILMU PENGETAHUAN
Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :
1. Hukum tentang orang atau hukum perorangan (persoonenrecht) yang antara lain mengatur tentang:
a. Orang sebagai subjek hukum.
b. Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak sendiri untuk melaksanakan hak-haknya itu.
2. Hukum kekeluargaan atau hukum keluarga (familierecht) yang memuat antara lain :
a. Perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang timbul didalamnya seperti hukum harta kekayaan suami dan istri.
b. Hubungan hukum antara orangtua dan anak-anaknya atau kekuasaan orang tua (ouderlijke macht).
c. Perwalian (voogdij).
d. Pengampunan (curatele).
3. Hukum kekayaan atau hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum harta kekayaan ini meliputi :
a. Hak mutlak ialah hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang.
b. Hak perorangan adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.
4. Hukum waris (erfrecht) mengatur tentang benda atau kakayaan seseorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang.

Buku kansil
Buku A. djamali
C.B Gelio



Baca Selengkapnya...

SEJARAH KUH PERDATA


Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.

KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. pada tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang (WVK).
Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit. Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia.
Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam kodifikasi tersebut.

Baca Selengkapnya...

Hukum Perdata


PENGERTIAN HUKUM PERDATA


         Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.
Baca Selengkapnya...

Template by : kendhin x-template.blogspot.com