Selasa, 10 April 2012

Aturan Antikorupsi Pemberantasan Setengah Hati


Ancaman hukuman berat buat terpidana korupsi dinilai hanya retorika politik karena arah kebijakan pemerintah justru menumbuhsuburkan iklim korupsi di negeri ini. Pasal-pasal yang menjadi teror bagi koruptor justru diamputasi. Perilaku penegak hukum juga cemar.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar dengan lantang menyatakan, koruptor pantas dihukum mati (Kompas, 6/4). Namun, barangkali ia lupa dengan naskah Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diajukan pemerintah untuk menggantikan undang- undang yang lama. RUU itu justru membuang pasal mengenai hukuman mati untuk koruptor.

”Patrialis hanya beretorika saat mengancam koruptor dengan hukuman mati,” ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Wacth (ICW) Febri Diansyah.

RUU Pemberantasan Tipikor versi Agustus 2008 menghilangkan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto No 20/2001. Ayat tersebut secara tegas menyebutkan, koruptor bisa dihukum mati.

Bahkan, secara keseluruhan, semangat RUU yang saat ini menjadi prioritas Legislasi Nasional 2010 memang memberikan angin surga kepada para koruptor. Misalnya, Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor yang selama ini cukup digdaya menjerat koruptor justru dihilangkan. Akibatnya, diperkirakan banyak koruptor akan lolos dari jerat hukum jika pasal seperti ini tidak ada di RUU.

Ancaman pidana maksimal dalam RUU ini secara keseluruhan juga menurun. Misalnya, dalam Pasal 8 tentang penggelapan uang negara, di UU Tipikor, ancaman hukuman maksimal 15 tahun. Sedangkan di RUU, ancaman hukuman maksimal hanya 7 tahun. ”Saya khawatir, Patrialis belum membaca RUU baru itu. Karena jelas-jelas di situ justru mengurangi efek jera bagi koruptor,” kata Febri.

Febri menambahkan, ancaman pidana minimal pada sebagian pasal dihilangkan sehingga memperluas kemungkinan vonis percobaan. Vonis untuk pidana korupsi di bawah Rp 25 juta juga dihapuskan.

Selain itu, unsur luar biasa korupsi juga tidak dimunculkan karena tidak mengatur tentang mekanisme pengembalian kerugian negara, pembekuan rekening, pidana tambahan terkait uang pengganti, korupsi oleh pengacara, dan pembatalan kontrak yang lahir dari korupsi.

Melemahnya kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga bisa ditengok dari Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi 2010-2035 yang diluncurkan Desember 2009. Dalam strategi tersebut, pemerintah memberikan prioritas pertama pemberantasan korupsi pada upaya pencegahan melalui perbaikan kinerja pemerintah di bidang pelayanan publik. Penindakan kasus korupsi hanya menjadi prioritas kedua.

Padahal, di tengah makin menggejalanya praktik mafia kasus, yang jelas-jelas melibatkan para penegak hukum, penindakan dengan cara biasa-biasa saja pastinya tak akan mempan. Dibutuhkan penindakan yang luar biasa, yaitu dengan pembersihan total terhadap aparat penegak hukum.

Inkonsisten

Selain ketidakkonsistenan dalam penyusunan perundang-undangan, menurut Febri, perilaku penegak hukum dalam pemberantasan korupsi juga menunjukkan kemunduran. Misalnya, adanya pemotongan masa tahanan kasus korupsi di lembaga pemasyarakatan.

”Melalui PP Nomor 28 Tahun 2006 yang ditandatangani presiden, terbuka ruang pemberian remisi atau potongan masa tahanan untuk koruptor,” katanya. Jika korupsi dianggap kejahatan luar biasa, mestinya tak ada remisi untuk para koruptor.

Febri juga mencatat maraknya tren putusan bebas kasus korupsi di pengadilan umum, hukuman percobaan, dan pengurangan hukuman melalui upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK).

Lihat saja beberapa putusan majelis PK dalam perkara Artalyta Suryani, Burhanuddin Abdullah, Aulia Pohan, Maman Soemantri, Aslim Tadjudin, Bunbunan Hutapea, dan Irawady Joenoes (mantan komisioner Komisi Yudisial). Ada beragam alasan untuk pengurangan hukuman itu, seperti kemanusiaan dan tidak ikut menikmati aliran dana.

PK ditengarai sebagai celah hukum yang dimanfaatkan terpidana kasus korupsi untuk mendapatkan keringanan hukuman. MA bahkan menerima permohonan PK yang persidangannya tidak dihadiri oleh terpidana.

Hakim agung ad hoc korupsi, Krisna Harahap, yang mengajukan dissenting opinion dalam perkara Artalyta, mengungkapkan, hal tersebut melanggar Pasal 263 Ayat 1 serta Pasal 265 Ayat 2 dan Ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

”Permohonan melalui kuasa hukum tanpa kehadiran terpidana yang harus menandatangani berita acara pemeriksaan sering disalahgunakan untuk bersembunyi di luar negeri,” ujar Krisna.

Febri khawatir, putusan itu akan menjadi preseden buruk dan akan dimanfaatkan koruptor-koruptor yang kini berada di luar negeri untuk memperoleh keringanan hukuman.

Namun, di mata Djoko Sarwoko, yang juga ketua majelis PK Artalyta Suryani, keputusan untuk memperingan hukuman para terpidana itu sudah tepat. Sebab, majelis hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan, terutama keadilan untuk terpidana. Putusan tersebut tidak berarti MA mengabaikan rasa keadilan masyarakat atau bahkan menunjukkan berkurangnya komitmen MA terhadap pemberantasan korupsi.

Tren pengurangan hukuman untuk terpidana korupsi yang belakangan terjadi memang cukup mengkhawatirkan. Setidaknya hal tersebut diungkapkan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas. Di tengah mesin korupsi yang makin menggurita dan semakin memelaratkan rakyat, alasan-alasan pengurangan hukuman menjadi tidak jelas.

”Ketika kasus korupsi dipertimbangkan dari sisi kemanusiaan, hakim seharusnya menjelaskan kemanusiaan siapa yang dimaksud. Harusnya hukum itu berfungsi membebaskan masyarakat yang tertindas oleh korupsi sehingga alasan kemanusiaan seharusnya diartikan kemanusiaan untuk rakyat selaku korban,” kata Busyro.

Korupsi memang tidak bisa diberantas dengan setengah hati.

Sumber: Kompas Cetak, 10 April 2010
 

0 comments:

Spoiler Untuk lihat komentar yang masuk: